Kemiskinan di Bali – Bali adalah salah satu provinsi yang menghadapi tantangan besar dalam mengurangi angka kemiskinan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, terdapat tiga kabupaten/kota di Bali dengan tingkat kemiskinan ekstrem yang cukup mengkhawatirkan, yaitu Kabupaten Buleleng, Karangasem, dan Kota Denpasar.
Misalnya, di Kota Denpasar, angka kemiskinan mencapai 27,27 persen dari total penduduk, sedangkan Kabupaten Karangasem mencatat 27,76 persen dan Kota Denpasar lagi-lagi terlihat parah dengan 36,55 persen. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Bali dikenal sebagai destinasi wisata, masalah kemiskinan tetap membayangi kehidupan banyak warganya.
Penyebab dan Dampak Kebijakan Terhadap Kemiskinan
Dalam konteks ini, penting untuk mencermati bagaimana kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dapat mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat. Pakar Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Tadjuddin Noer Effendi, mengangkat isu ini dengan menyebutkan bahwa di tengah upaya pemerintah untuk menekan angka pengangguran, Gubernur Bali justru mengeluarkan kebijakan yang melarang industri memproduksi air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah ukuran 1 liter.
Kebijakan ini, menurut Tadjuddin, berpotensi meningkatkan jumlah pengangguran di Bali. Ia mencatat bahwa melarang produksi air minum dalam kemasan tidak hanya berdampak pada industri, tetapi juga akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) di kawasan tersebut. Ketika dua dari 18 pabrik AMDK yang ada di Bali terpaksa gulung tikar, dampaknya tentu akan langsung dirasakan oleh banyak keluarga yang bergantung pada mata pencaharian tersebut.
Alternatif Solusi dan Perhatian Terhadap Lingkungan
Salah satu langkah yang diambil oleh Gubernur Bali adalah menerbitkan Surat Edaran tentang Gerakan Bali Bersih Sampah yang berlaku sejak April 2025. Meskipun tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengatasi permasalahan sampah di Bali, banyak pihak yang merasa bahwa pendekatan tersebut kurang tepat. Menurut Tadjuddin, alih-alih melarang, seharusnya perusahaan dapat diajak berdiskusi untuk mencari solusi bersama terkait pengelolaan sampah.
Lebih jauh, perlu dianalisis berapa banyak sampah yang dihasilkan oleh produk AMDK dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Produk-produk tersebut sebenarnya menyuplai bahan bagi pemulung dan industri daur ulang. Dengan demikian, melarang produksi bukan hanya mengancam penghidupan pekerja di industri tersebut, tetapi juga menghilangkan sumber pendapatan bagi mereka yang mengandalkan pemulung.
Di penghujung pembahasan, penting untuk mempertimbangkan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan seharusnya memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat, tanpa mengabaikan aspek lingkungan. Pendekatan yang bersinergi antara perekonomian dan keberlanjutan akan sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik di Bali. Pengelolaan sampah yang efektif dan inklusif dapat dicapai dengan mengajak semua pemangku kepentingan untuk berkolaborasi.