LHOKSEUMAWE — Sejumlah laporan media daring di Aceh mengungkap bahwa Perum Bulog Kanwil Aceh telah mengirimkan 4.000 ton beras ke Provinsi Sumatera Utara. Tindakan ini menjadi sorotan karena terjadi di tengah lonjakan harga beras di pasar Aceh. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat mengenai ketersediaan pasokan beras di daerah sendiri.
Kenaikan harga beras dalam beberapa pekan terakhir telah menarik perhatian banyak pihak. Apakah tindakan Bulog benar-benar selaras dengan kebutuhan masyarakat Aceh saat harga beras terus meningkat? Pertanyaan ini semakin relevan dengan adanya data terbaru mengenai harga beras yang menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.
Kenaikan Harga Beras di Aceh
Pesatnya kenaikan harga beras di Aceh menciptakan kecemasan di kalangan konsumen. Berdasarkan data Panel Harga Pangan dari Badan Pangan Nasional per 11 Agustus 2025, harga rata-rata beras premium nasional mencapai Rp16.054 per kilogram, melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) nasional yang ditetapkan di angka Rp14.900 per kilogram. Sementara untuk beras medium, harganya juga berada dalam tren kenaikan dengan harga Rp14.087 per kilogram, naik 12,7 persen dari HET yang ditetapkan sebesar Rp12.500 per kilogram.
Di Aceh sendiri, Data Bapanas per 6 Agustus 2025 mencatat harga beras premium mencapai Rp16.490 per kilogram, sedangkan beras medium di angka Rp15.499 per kilogram. Ini jelas jauh melampaui HET zona II yang ditentukan sekitar Rp13.100 per kilogram. Trend kenaikan harga ini menjadi suatu sinyal bahwa cadangan beras yang tersedia mungkin tidak mencukupi kebutuhan lokal, dan ini perlu dicermati lebih lanjut.
Dampak Distribusi Lintas Provinsi
Pengiriman beras sebanyak 4.000 ton dari Aceh ke Sumatera Utara pada saat harga beras dalam negeri melonjak menjadi perhatian publik. Hal ini mengundang berbagai opini dan analisis dari berbagai kalangan. Banyak yang menilai bahwa seharusnya sebelumnya kepentingan masyarakat Aceh harus diperhatikan lebih serius. Dari hasil wawancara, Diki Anaya, mahasiswa Universitas Malikussaleh, berpendapat bahwa kebijakan distribusi seperti ini harus diaudit secara transparan. Pasalnya, keadaan ini dapat sangat mempengaruhi stabilitas pangan lokal jika tidak dikelola dengan baik.
Dalam konteks ini, pengelolaan cadangan beras oleh Bulog diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 dan peraturan menteri terkait. Dalam regulasi tersebut, penekanan terhadap kewajiban menjaga stabilisasi pasokan dan harga di daerah asal menjadi sangat penting agar kebutuhan masyarakat dapat tetap terjaga. Kebijakan distribusi lintas provinsi, seharusnya tidak mengabaikan keadaan daerah asal, agar cadangan tetap berada dalam batas yang aman.
Dalam penutup, di masa mendatang, sangat penting bahwa kebijakan distribusi pangan harus lebih memperhatikan kondisi lokal agar kebutuhan masyarakat terjaga. Masyarakat berhak mendapatkan beras dengan harga yang terjangkau dan stabil. Melalui audit dan transparansi, diharapkan kebijakan ini dapat mengatur distribusi dengan lebih baik demi kepentingan bersama.