BANDA ACEH – Center of Human and Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD) menyoroti dilema antara penerimaan negara dari cukai rokok dengan biaya sosial dan kesehatan yang harus ditanggung masyarakat akibat konsumsi rokok.
Senior Advisor CHED ITBAD, Mukhaer Pakkanna, menekankan bahwa industri rokok justru memperkaya diri melalui eksploitasi kelompok rentan. Bagaimana mungkin penerimaan negara yang berasal dari cukai rokok ini tidak memisahkan dampak buruk terhadap masyarakat?
Konsekuensi Sosial dan Ekonomi dari Konsumsi Rokok
Dampak negatif dari konsumsi rokok sangat nyata dalam masyarakat. Surplus ekonomi keluarga miskin banyak dialihkan ke industri rokok. Ini bukan sekadar masalah individu, melainkan merupakan masalah struktural yang mengakar dalam lingkup sosial-ekonomi. Konsumsi yang menghabiskan sumber daya finansial yang seharusnya dapat diinvestasikan untuk pendidikan dan kesehatan.
Data dari berbagai survei menunjukkan bahwa industri rokok sering kali menargetkan kelompok rentan, termasuk anak-anak dan remaja, untuk menjadi konsumen jangka panjang. Ironisnya, sekaligus menguntungkan bagi mereka, banyak dari konsumen ini yang terjebak dalam siklus kecanduan yang sulit untuk dihindari. Akibatnya, keuntungan besar yang didapat oleh industri rokok dibayar mahal dengan biaya kesehatan yang ditanggung masyarakat. Ini adalah situasi yang memprihatinkan, di mana industri rokok semakin kaya sementara keluarga miskin harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Strategi Pengendalian dan Perubahan Paradigma
Penting untuk mempertimbangkan strategi pengendalian yang lebih efektif dalam mengendalikan konsumsi rokok. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah memperkuat regulasi terhadap iklan dan penjualan rokok, terutama yang menyasar anak-anak dan remaja. Perlu ada peningkatan kesadaran dan pendidikan yang lebih baik mengenai risiko kesehatan yang ditimbulkan dari merokok.
Selain itu, perlu diubah cara pandang pemerintah dalam menilai penerimaan cukai rokok. Bukankah lebih menarik jika penerimaan negara dialokasikan untuk sektor-sektor yang lebih produktif dan berkelanjutan? Alihkan fokus dari keuntungan jangka pendek menjadi manfaat jangka panjang bagi masyarakat. Dengan kebijakan yang lebih bersifat preventif, kita bisa berharap untuk membangun masyarakat yang lebih sehat dan produktif.
Satu hal yang patut dicatat adalah pernyataan Ekonom dari FEB UI, Abdillah Ahsan, yang menyebutkan bahwa penurunan konsumsi rokok tidak merusak ekonomi. Sebaliknya, ia meyakini bahwa pengalihan pengeluaran rumah tangga dari rokok ke sektor pendidikan dan gizi hanya akan memperkuat daya tahan bangsa. Ini menjadi argumentasi yang sangat kuat untuk mengajak masyarakat berpikir lebih dalam mengenai pilihan mereka terkait konsumsi rokok.
Ruang untuk perbaikan sangat luas, namun menjadi tantangan ketika harus menghadapi lobi politik yang kuat dari industri rokok. Pengendalian tembakau harus menjadi agenda utama, dan kesadaran publik tentang risiko serta konsekuensi harus ditingkatkan. Hanya dengan dukungan bersama, kita bisa mulai melihat perubahan positif dalam pola konsumsi masyarakat.