BANDA ACEH – Belakangan ini, fenomena penggunaan filter warna dalam foto profil media sosial tengah menjadi tren, dengan sebagian besar pengguna memilih nuansa pink, hijau, dan biru. Ini merupakan bagian dari gerakan yang dikenal sebagai “17+8 Tuntutan Rakyat”.
Pada kesempatan ini, ulasan dari peneliti dan pengamat terorisme, Ulta Levenia Nababan menyentuh makna di balik pemilihan warna tersebut. Mengapa warna menjadi alat ekspresi bagi masyarakat untuk menyoroti ketidakpuasan mereka?
Makna Warna dalam Gerakan Sosial
Pemilihan warna tertentu sebagai simbol pergerakan sosial bukanlah hal yang baru. Dalam dunia sejarah, banyak contoh menunjukkan bagaimana warna telah digunakan dalam berbagai gerakan untuk menyampaikan pesan kolektif. Ulta menyoroti istilah “Color Revolution” yang dikenal melalui turunannya, yang mana setiap warna menggambarkan harapan serta tuntutan masyarakat. Misalnya, Roses Revolution di Georgia dan Orange Revolution di Ukraina menjadi contoh bagaimana warna berfungsi sebagai alat visual untuk menyatukan keberagaman dalam ketidakpuasan.
Selain itu, penggunaan warna sebagai simbol juga mencerminkan upaya untuk bersatu. Menurut Ulta, warna ini merupakan cara untuk merangkul berbagai elemen dari masyarakat yang merasa terpinggirkan. “Penggunaan warna merupakan simbol untuk mempersatukan semua elemen yang mempunyai berbagai kekesalan yang terpendam,” ungkapnya. Pemilihan warna yang cerah sekaligus mencolok menunjukkan bahwa masyarakat sedang berada pada titik jenuh dan ingin suara mereka didengarkan.
Teori Relative Deprivation dan Dampaknya
Dalam menjelaskan fenomena ini, Ulta merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Ted Robert Gurr dalam bukunya “Why Men Rebel”. Teori ini berfokus pada konsep relative deprivation, yaitu kondisi di mana individu merasa kurang puas dengan situasi mereka meskipun secara objektif mereka mungkin tidak berada dalam kondisi yang buruk. “Relative deprivation itu adalah ketika lo merasa bahwa lo itu tidak puas dan lo itu merasa miskin. Tapi sebenarnya lo enggak miskin,” jelasnya.
Dalam konteks masyarakat saat ini, gap ekonomi yang terlalu mencolok dapat memicu amarah dan ketidakpuasan. Ketika anggota DPR menunjukkan sikap bergaya hidup mewah dengan tindakan yang dianggap tidak sensitif terhadap keadaan rakyat, ini menciptakan kesenjangan yang jelas di mata publik. “Dengan adanya gap [pendapatan yang sangat curam] ini, muncul relative deprivation yang dapat memicu kemarahan,” tegas Ulta. Melihat situasi seperti ini, masyarakat merasa terpojok, dan gerakan yang dimotivasi oleh warna menjadi cara untuk mengekspresikan kemarahan serta ketidakpuasan terhadap sistem yang dianggap tidak adil.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk memahami makna di balik setiap gerakan yang dilakukan oleh masyarakat. Warna bukan hanya sekadar estetika, tetapi mewakili suara mereka yang ingin diabaikan, dan setiap nuansa membawa serta harapan, impian, dan ketidakpuasan yang mendalam.
