Perdamaian di Aceh menjadi topik hangat selama dua dekade terakhir, terutama setelah penandatanganan perjanjian damai Helsinki. Proses ini tidak hanya menjadi sejarah, melainkan juga terus menjadi bahan evaluasi dan refleksi untuk semua pihak yang terlibat.
Salah satu upaya untuk mendalami dinamika perdamaian di Aceh adalah melalui acara bedah buku yang berjudul Dua Dekade Damai Aceh. Kegiatan yang berlangsung di Aula Teater Museum UIN Ar-Raniry ini mengajak para akademisi dan praktisi untuk berbagi pandangan mengenai perjalanan perdamaian di Aceh, yang telah berlangsung sejak 2005.
Memahami Perjalanan Perdamaian di Aceh
Buku yang ditulis oleh Iskandar Norman ini merupakan hasil kolaborasi antara Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dan penerbit. Dalam buku setebal 200 halaman ini, pembaca diajak untuk memahami berbagai capaian dan tantangan yang dihadapi dalam proses perdamaian. Tidak hanya fokus pada hasil, buku ini juga menyoroti proses reintegrasi pascakonflik yang menjadi salah satu fokus utama dalam upaya menciptakan stabilitas di Aceh.
Di dalam buku ini, dijelaskan bahwa perdamaian bukanlah akhir dari sebuah masalah. Justru, ini adalah awal dari berbagai tantangan baru yang harus dihadapi. Pentingnya mengajak generasi muda untuk aktif berpartisipasi dalam menjaga perdamaian di Aceh menjadi salah satu sorotan utama dalam diskusi tersebut.
Strategi Membangun Pendidikan Pascakonflik
Pendidikan memiliki peranan yang sangat vital dalam proses menciptakan perdamaian yang berkelanjutan. Dalam konteks Aceh, pemulihan sektor pendidikan tidak hanya sekadar mengembalikan kurikulum yang hilang, tetapi juga membangun kembali infrastruktur yang rusak akibat konflik berkepanjangan. Hal ini menjadi satu di antara sejumlah solusi yang diusulkan dalam nota kesepahaman yang mengatur reintegrasi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pelatihan vokasional dan pemberdayaan kelompok marginal juga merupakan langkah strategis yang harus diambil agar masyarakat Aceh tidak hanya menjadi penonton dalam proses pembangunan, tetapi turut serta menjadi pelaku yang aktif. Generasi yang tidak mengalami konflik diharapkan mampu mengambil peran penting untuk menjaga dan mengisi perdamaian dengan cara yang konstruktif.
Dengan demikian, menghadirkan pendidikan yang inklusif dan merata dapat menjadi fondasi bagi masyarakat Aceh untuk mencapai stabilitas sosial dan keadilan. Akhir kata, perjalanan menuju perdamaian adalah sebuah proses panjang yang membutuhkan komitmen seluruh pihak. Dukungan dan kerjasama dari setiap lapisan masyarakat menjadi kunci dalam mewujudkan Aceh yang damai.
