BANDA ACEH – Kejadian tak terduga terjadi saat Menteri Kebudayaan hendak menjawab pertanyaan dari para anggota Komisi X DPR dalam rapat kerja yang berlangsung di Gedung Parlemen Senayan, Rabu 2 Juli 2025.
Dalam sebuah momen yang tidak terduga, Koalisi Masyarakat Sipil tiba-tiba memasuki ruang rapat Komisi X DPR. Mereka membentangkan spanduk dan poster di balkon, menyerukan agar Menteri Kebudayaan menghentikan niatnya untuk menulis ulang sejarah nasional.
Protes untuk Keadilan Sejarah
Aksi protes ini dipicu oleh rusak dan mundurnya pengakuan terhadap berbagai kejadian penting dalam sejarah bangsa. “Hentikan pemutihan sejarah,” teriak salah satu anggota koalisi. Suara protes lainnya mempertegas tuntutan mereka, dengan seruan seperti “Dengarkan suara korban” dan “Tolak gelar Pahlawan Soeharto.”
Situasi di ruang rapat menjadi tegang saat Menteri Kebudayaan terlihat tercengang mendengar gelombang protes tersebut. Wakil Ketua Komisi X DPR, dengan cepat berusaha meredakan keadaan, meminta Koalisi Masyarakat Sipil untuk meninggalkan ruang rapat dan meminta pihak keamanan untuk mengamankan situasi.
Di luar ruang rapat, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Jane, menegaskan tujuan kedatangan mereka—memprotes proyek penulisan sejarah yang mereka anggap berpotensi memutarbalikkan fakta. Mereka mengecam pernyataan Menteri yang meragukan adanya pemerkosaan massal tahun 1998, yang merupakan salah satu peristiwa tragis dalam sejarah Indonesia.
Dampak Sosial dan Budaya dari Penulisan Ulang Sejarah
Pentingnya sejarah yang akurat tidak bisa dipandang sebelah mata. Penulisan ulang sejarah dapat mempengaruhi banyak hal, dari identitas nasional hingga kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Sejarah bukan hanya catatan masa lalu, melainkan juga cermin yang menunjukkan siapa kita sebagai bangsa.
Dalam konteks ini, pernyataan yang meremehkan peristiwa-peristiwa tragis bisa menimbulkan dampak sosial yang serius. Keterasingan suara korban menjadi semakin nyata ketika pihak berwenang mengambil langkah untuk “memutihkan” fakta yang lebih kompleks. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Penting bagi pemerintah untuk bukan hanya mendengarkan, tetapi juga menghargai pandangan yang berbeda. Mengakui kesalahan di masa lalu adalah langkah pertama menuju rekonsiliasi dan keadilan sosial.
Koalisi Masyarakat Sipil, dengan aksi simbolik mereka, tidak hanya meminta agar proyek penulisan sejarah dihentikan. Mereka ingin Menteri Kebudayaan memberikan permohonan maaf kepada publik dan mengakui kesalahan dalam pernyataannya. Dengan cara ini, mereka berharap agar masa depan sejarah Indonesia dapat ditulis dengan lebih jujur dan transparan.
Adanya upaya untuk menghilangkan narasi korban dari sejarah bukan hanya mencederai kebenaran, tetapi juga menghilangkan kesempatan bagi masyarakat untuk belajar dari kesalahan masa lalu. Rekonsiliasi memerlukan pengakuan akan kesalahan, dan menciptakan ruang untuk dialog yang konstruktif.
Dengan memahami bahwa sejarah memiliki banyak sudut pandang, kita dapat membangun kesadaran yang lebih dalam tentang pentingnya menjaga keakuratan dalam penulisan sejarah. Ini adalah bentuk penghormatan tidak hanya bagi mereka yang telah kehilangan suara, tetapi juga bagi generasi mendatang yang berhak mengetahui kebenaran.