BANDA ACEH – Hizbullah mengambil keputusan untuk tidak terlibat dalam pertempuran bersama Iran melawan Israel selama konflik yang berlangsung di bulan Juni 2025. Keputusan ini bukan berdasarkan pada tekanan eksternal atau kelemahan yang ada di dalam, melainkan lantaran tidak adanya arahan yang jelas dari otoritas agama.
Informasi ini dikemukakan oleh Tal Beeri, seorang pakar politik Timur Tengah, dalam analisis yang baru-baru ini dipublikasikan. Banyak yang menduga bahwa keputusan Hizbullah untuk tidak terlibat di medan perang terkait dengan pencegahan militer dari pihak Israel atau desakan dari masyarakat Lebanon yang saat itu tengah dalam krisis.
Analisis Keputusan Hizbullah dalam Konflik
Dalam laporannya yang bertajuk “Mengapa Hizbullah Tidak Bergabung dengan Iran dalam Perang Melawan Israel?”, Beeri menjelaskan bahwa keputusan Hizbullah untuk tidak berpartisipasi dalam konflik dengan Israel dipicu oleh ketiadaan arahan dari pihak otoritas agama tertinggi dalam Islam Syiah. Menurutnya, setiap keputusan untuk melaksanakan operasi militer harus disandarkan pada instruksi agama yang jelas.
Beeri menegaskan bahwa meskipun ada tekanan dari Iran, tidak ada perintah yang jelas dari Wilayat al-Faqih, yang merupakan pemimpin tertinggi Syiah di Iran, untuk memerintahkan Hizbullah untuk melibatkan diri dalam pertempuran tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan yang dibuat oleh Hizbullah lebih bersifat strategis dan berlandaskan pada keyakinan agama mereka.
Implikasi dan Perspektif Lain dari Keputusan ini
Keputusan Hizbullah untuk tidak terjun langsung dalam konflik ini membuka wacana menarik terkait dinamika kekuasaan di Timur Tengah. Banyak analis yang beranggapan bahwa pernyataan Beeri ini membongkar mitos tentang lemahnya posisi Hizbullah akibat tekanan internal dan kondisi yang tidak stabil di Lebanon.
Walaupun terdapat beberapa isu internal yang mempengaruhi, kekuatan dan pengaruh Hizbullah di kawasan tetap tidak bisa dipandang sebelah mata. Beeri mencatat bahwa ada kesenjangan antara persepsi kelemahan dan kondisi asli di lapangan. Pengaruh politik dan sosial yang dimiliki Hizbullah tetap kuat dalam konteks regional.
Dengan demikian, penjelasan dari Beeri berpotensi memberikan pandangan baru terhadap situasi di Timur Tengah, terutama dalam pemahaman kita mengenai peran Hizbullah dan dinamika hubungan mereka dengan Iran serta Israel.
Keputusan untuk tidak terlibat dalam perang ini bisa jadi merupakan langkah strategis yang dimiliki Hizbullah dalam mempertahankan posisi mereka di Lebanon dan menjaga stabilitas internal, yang pada akhirnya dapat mendorong normalisasi hubungan dengan masyarakat. Meskipun banyak analisa berfokus pada faktor eksternal, penekanan pada arahan agama menunjukkan kompleksitas yang lebih dalam dalam pengambilan keputusan kelompok bersenjata ini.