BANDA ACEH – Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Eka Srimulyani, baru-baru ini menghadiri peluncuran buku berjudul “The Grand Mosque of Singapore: Two Centuries in the History Masjid Sultan”. Kegiatan ini berlangsung di Singapura pada Senin, 21 Juli 2025, dan diluncurkan secara resmi oleh Presiden Singapura, Mr. Tharman Shanmugaratnam.
Buku ini merupakan hasil riset yang telah dilakukan selama dua tahun oleh tim atau komite khusus. Fokus dari penelitian ini adalah merekonstruksi narasi sejarah, arsitektur, budaya, dan dinamika sosial Masjid Sultan, yang diakui sebagai salah satu warisan nasional paling penting di Singapura. Penggalian informasi mendalam dalam proyek ini menunjukkan betapa signifikan peran Masjid Sultan dalam sejarah perkembangan Islam di kawasan tersebut.
Peran Masjid Sultan dalam Sejarah Islam di Singapura
Masjid Sultan bukan hanya sekadar tempat ibadah; ia merupakan simbol kekayaan budaya dan sejarah yang mendalam. Masjid ini dibangun pada tahun 1824 dan merupakan salah satu masjid tertua yang ada di negara tersebut. Keberadaannya telah menjembatani hubungan antara masyarakat lokal dan komunitas Muslim internasional. Dalam buku ini, Eka Srimulyani berkontribusi sebagai salah satu penulis internasional, di mana ia menyajikan pandangannya yang unik mengenai perkembangan Masjid dari aspek wisata religi dan budaya.
Insights dari penelitian ini menunjukkan bahwa Masjid Sultan bukan saja berfungsi sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai tempat berkumpulnya berbagai komunitas. Pemandangan arsitektur yang megah dan detail ornamen yang sangat khas membuat masjid ini menjadi atraksi wisata yang menarik. Selain berbicara tentang arsitektur, pandangan Eka juga menyoroti bagaimana masjid ini menjadi saksi bisu dari perjalanan sejarah panjang Islam di daerah maritim Asia Tenggara. Keterlibatan UIN Ar-Raniry dalam proyek ini menjadi indikator penting terkait jaringan intelektual yang ada antara Indonesia dan Singapura.
Kolaborasi Ilmiah dan Diskusi Budaya
Partisipasi dalam proyek ini tidak hanya terbatas pada penulisan, tetapi juga membuka peluang untuk diskusi lebih lanjut mengenai sejarah Aceh dan hubungannya dengan Islam di wilayah maritim. Eka mencatat bahwa pertemuan dan diskusi yang terjadi selama di Singapura memberi ruang bagi para peneliti, akademisi, dan tokoh Muslim untuk berbagi pandangan dan penelitian mengenai aspek-aspek sejarah, budaya, serta dinamika politik Islam di Asia Tenggara.
“Kami berbincang tentang relasi-relasi sejarah budaya dan politik Islam yang terjalin, termasuk peran Aceh dalam konteks yang lebih luas,” ujarnya. Pertukaran ide yang dilakukan juga dapat menjadi jembatan untuk explorasi kajian lebih lanjut yang dapat berkontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan di masa depan. Hal ini membuktikan bahwa kerjasama akademik lintas negara dapat menciptakan penelitian yang lebih mendalam dan inklusif.
Sebagai penutup, partisipasi Eka dalam buku tersebut menunjukkan komitmen UIN Ar-Raniry untuk terus aktif dalam kolaborasi ilmiah internasional. Ini sangat penting untuk memperkuat narasi keislaman yang tidak hanya lokal tetapi juga transnasional, menjadi bekal bagi generasi mendatang dalam menggali lebih dalam lagi sejarah dan budaya Islam di Asia Tenggara.