BANDA ACEH – Baru-baru ini, sebuah insiden memilukan terjadi yang melibatkan seorang pemenang kontes kecantikan. Lishalliny Kanaran, yang berhasil meraih gelar Miss Grand Malaysia 2021, mengungkapkan bahwa ia telah menjadi korban pelecehan seksual selama menjalani ritual di sebuah kuil. Kejadian tersebut berlangsung pada tanggal 21 Juni 2025, saat Kanaran datang ke Kuil Mariamman di Sepang seorang diri, dengan niat untuk berdoa dan memperoleh berkat dari pendeta yang bertugas.
Pernyataan Kanaran menceritakan bagaimana ia dibawa ke sebuah ruangan pribadi di dalam kuil dengan alasan untuk melakukan ritual yang lebih khusus. Di ruang yang tertutup itu, ia mengalami situasi mengerikan setelah diperlakukan dengan cara yang tidak senonoh. Dalam penjelasannya, ia menyebutkan bahwa disiram dengan cairan yang membuatnya kehilangan fokus dan membingungkan keadaan sekitarnya sebelum serangan tersebut terjadi.
Pelecehan yang Mengubah Segalanya
Berita mengenai pelecehan seksual ini tidak hanya mengejutkan publik, tetapi juga menciptakan dampak yang mendalam bagi korban. Dalam pernyataan yang diunggah ke media sosial setelah kejadian, Kanaran menulis, “Dia berdiri di belakang saya, bergumam entah apa, lalu tiba-tiba memasukkan tangannya ke dalam blus dan bra saya.” Pengalaman traumatis ini membuatnya tak berdaya, terperangkap dalam kondisi syok yang mencegahnya untuk mengambil tindakan meskipun ia menyadari apa yang tengah dialaminya.
Setelah peristiwa tersebut, keluarga Kanaran baru dapat melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian pada tanggal 4 Juli, setelah ibunya kembali dari India. Ketika keluarga berusaha mencari keadilan dengan mendatangi kuil tersebut, mereka mendapat informasi bahwa pendeta yang diduga sebagai pelaku sudah tidak ada di tempat. Situasi ini menambah kejelasan mengenai betapa pentingnya perlindungan dan keamanan bagi setiap individu, terlebih dalam situasi yang seharusnya menjadi penyembuhan spiritual.
Strategi Penanganan Kasus Pelecehan Seksual
Di tengah keprihatinan dan keresahan publik, proses investigasi kasus ini pun dimulai. Kepala Polisi Distrik Sepang, ACP Norhizam Bahaman, mengonfirmasi bahwa kasus tersebut sedang diusut. Ia menjelaskan modus operandi pelaku yang memanfaatkan momen ritual, dengan menyiramkan air suci ke korban sebelum melakukan tindakan merugikan tersebut. Dalam penyelidikan yang tengah berlangsung, pihak berwenang berusaha melacak keberadaan pelaku, yang diketahui sebagai pendeta pengganti dan infonya tidak ada di lokasi saat keluarga Kanaran mencarinya.
Kasus ini kembali mengingatkan kita tentang banyaknya laporan pelecehan seksual yang tidak memperoleh perhatian yang layak. Banyak korban merasa terjebak dalam kondisi sulit, dan laporan-laporan serupa sering kali tidak mendapat respon yang memadai. Dengan adanya pengakuan mempertanyakan kelemahan sistem hukum dan perlindungan, penting untuk menegaskan bahwa setiap individu berhak atas rasa aman dan perlindungan. Langkah-langkah preventif perlu ditingkatkan untuk mencegah insiden serupa terjadi di masa depan.