BANDA ACEH – Pemerintah Aceh bersama berbagai pemangku kepentingan mendorong agar kekhususan tata kelola wakaf di Aceh masuk dalam revisi Undang-Undang Wakaf. Hal ini merupakan langkah strategis untuk memastikan kekhususan dan keberadaan Aceh dalam dinamika pengelolaan wakaf yang lebih baik dan terarah.
Dalam konteks ini, perlu diperhatikan bahwa wakaf memiliki potensi besar dalam membangun kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data terakhir, Aceh memiliki puluhan ribu bidang tanah wakaf yang belum dimanfaatkan secara optimal. Apakah Anda tahu bahwa jika dikelola dengan benar, wakaf dapat berfungsi sebagai sumber pendapatan yang signifikan bagi pengembangan sumber daya manusia dan ekonomi lokal?
Kekhususan Tata Kelola Wakaf di Aceh
Diskusi dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Mengarusutamakan Kekhususan Aceh dalam Revisi Undang-Undang Wakaf Indonesia” di Aula Bappeda Aceh adalah contoh nyata upaya tersebut. Forum ini melibatkan beragam pihak, seperti Kepala Bappeda Aceh, DPR Aceh, Bank Indonesia, dan tokoh agama. Melalui kolaborasi ini, harapan untuk mengoptimalkan potensi wakaf di Aceh menjadi semakin nyata.
FGD yang dimoderatori oleh Fahmi M. Nasir, MCL, menghasilkan beberapa rekomendasi signifikan. Kepala Bappeda Aceh, Dr. Husnan, menjelaskan bahwa penting bagi Aceh untuk memiliki posisi yang jelas dalam pembahasan undang-undang tersebut. Dengan membawa aspirasi lokal ke dalam kebijakan nasional, Aceh dapat mengembangkan solusi yang lebih relevan dan bermanfaat.
Strategi Optimalisasi Wakaf di Aceh
Tidak hanya berdiskusi, tetapi juga merumuskan strategi konkret dalam pengelolaan wakaf menjadi agenda utama. Sekretaris Komisi VII DPR Aceh, Yahdi Hasan, menekankan upayanya dalam merevisi Qanun Baitul Mal. Penguatan regulasi ini sangat penting agar pengelolaan wakaf dapat berjalan lebih efektif, terutama dalam memanfaatkan potensi tanah wakaf yang ada.
Rekomendasi lainnya datang dari Ketua Dewan Pertimbangan Syariah Baitul Mal Aceh, Prof. Dr. Al Yasa’ Abubakar. Ia mengusulkan agar peran Baitul Mal dikuatkan dalam undang-undang ataupun kebijakan terkait, sehingga bisa berfungsi sebagai pengganti Badan Wakaf Indonesia (BWI) di Aceh. Hal ini menunjukkan pentingnya pengelolaan yang lebih terarah, termasuk mempersiapkan langkah untuk merintis bank wakaf yang dapat mengelola dana secara produktif.
Sebagai tambahan, Deputi Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia, Dr. Yono Haryono, memberikan pandangan bahwa Aceh berpotensi besar dalam menjadi model nasional untuk wakaf yang produktif. Ia menegaskan perlunya kolaborasi lintas sektor untuk mengoptimalkan wakaf. Bank Indonesia siap mendukung baik dari sisi regulasi maupun inklusi keuangan syariah. Ini dapat menjadi harapan baru untuk membangkitkan ekosistem wakaf yang berkelanjutan di Aceh.
Dalam penutup, potensi wakaf di Aceh membawa harapan dan tantangan. Dengan berbagai inisiatif yang sedang dijalankan, termasuk forum diskusi dan kerjasama antara berbagai pemangku kepentingan, diharapkan pengelolaan wakaf di Aceh dapat mencapai tujuannya. Strategi dan rekomendasi yang dihasilkan dalam diskusi ini menjadi langkah awal yang penting dalam memperkuat peran wakaf dalam pembangunan ekonomi masyarakat Aceh.