BANDA ACEH – Kondisi keuangan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang dikenal sebagai Whoosh, mempertontonkan angka kerugian yang signifikan hingga semester I 2025. Hingga saat ini, PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI mencatatkan kerugian yang cukup besar dari kepemilikan sahamnya dalam konsorsium pengelola Whoosh, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI).
Ada banyak hal yang perlu diperhatikan mengingat kerugian ini tidak hanya berdampak pada KAI, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang keberlanjutan investasi di sektor transportasi. Bagaimana mungkin sebuah proyek yang begitu ambisius dapat mengalami kerugian yang melimpah?
Kondisi Keuangan dan Kerugian KAI
Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi per Juni 2025, KAI mengakumulasi kerugian mencapai Rp951,48 miliar. Jika ditotalkan dengan kerugian pada semester II 2024, total kerugian yang ditanggung dalam satu tahun terakhir sudah mencapai Rp1,9 triliun. Ini merupakan angka yang bukan cuma membingungkan, tetapi juga mencemaskan berbagai pihak yang terlibat dalam proyek ini.
Mengoperasikan kereta cepat ini dimulai secara komersial pada Oktober 2023, namun biaya investasi dan operasionalnya tidak sebanding dengan pendapatan dari penjualan tiket. Total investasi proyek ini mencapai US$7,2 miliar atau setara Rp116,54 triliun dan biaya tambahan yang tidak terduga mencapai US$1,2 miliar. Hal ini menunjukkan tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan proyek besar seperti ini.
Strategi untuk Meningkatkan Keberlanjutan Proyek
Handi Risza, Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri, menekankan pentingnya langkah konkret dari pemerintah untuk memastikan agar proyek ini dapat memenuhi nilai ekonomi yang berkelanjutan. Salah satu solusinya adalah dengan melakukan pengembangan Whoosh secara terintegrasi dengan jaringan transportasi lainnya. Integrasi ini dapat meningkatkan konektivitas dan membantu menciptakan sistem transportasi yang lebih efisien.
Lebih lanjut, perlu adanya peningkatan sumber penerimaan di luar pendapatan dari tiket, seperti pengembangan kawasan berbasis transit. Penambahan fasilitas komersial di sekitar stasiun kereta dapat menjadi salah satu alternatif untuk menambah pemasukan. Dengan cara ini, proyek kereta cepat tidak hanya bergantung pada penjualan tiket, tetapi juga dapat membuka peluang baru bagi pendapatan yang berkelanjutan.
Seiring peningkatan jumlah penumpang, frekuensi operasi kereta juga akan bertambah, yang berpotensi menaikkan biaya operasional dan perawatan. Oleh karena itu, perlu dipikirkan strategi jangka panjang untuk mengatasi potensi masalah ini. Dengan pendekatan yang tepat, diharapkan keberlanjutan proyek ini dapat terjaga, sehingga tidak hanya menjadi beban, tetapi juga bisa menyediakan manfaat ekonomi bagi masyarakat luas.