BANDA ACEH – Keputusan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk memblokir rekening yang tidak aktif selama tiga bulan menjadi sorotan. Langkah ini, meskipun bertujuan untuk mencegah tindakan pencucian uang, ternyata merugikan masyarakat, seperti yang dialami oleh seorang warga.
Salah satu kasus yang mencuat adalah pengalaman Ahmad Lubis, seorang ayah berusia 37 tahun asal Padang, Sumatera Barat. Rekening tabungan anaknya diblokir, membuatnya kebingungan karena uang tersebut seharusnya digunakan untuk pendidikan dan kebutuhan anaknya.
Masalah Rekening yang Diblokir: Sebuah Kasus Nyata
Ahmad melaporkan bahwa rekening Taplus BNI atas nama anaknya tidak bisa digunakan sama sekali setelah dirinya mencoba untuk menarik uang. Hanya informasi saldo yang bisa diaksesnya, sementara uang yang disimpan di dalam akun tersebut tidak dapat ditarik. “Rekening ini hanya dipakai untuk menyimpan hadiah dari lomba dan prestasi akademik anak saya yang masih di SD,” ungkapnya. Kejadian ini langsung mengingatkan kita akan pentingnya sosialisasi mengenai kebijakan yang diambil oleh PPATK.
Akhirnya, Ahmad pergi ke bank untuk menanyakan mengapa rekening tersebut diblokir. “Kata pihak bank, rekening ini diblokir oleh PPATK,” ujar Ahmad. Penggunaan rekening yang tidak rutin memang menjadi alasan behind the scenes dibalik kebijakan pemblokiran ini, tetapi Ahmad tetap berpandangan bahwa hal ini sangat merugikan mereka yang seharusnya tidak diperlakukan demikian.
Strategi Memudahkan Akses dan Pentingnya Kebijakan yang Tepat
Permasalahan ini membuka diskusi lebih dalam mengenai kebijakan yang diterapkan oleh PPATK. Walaupun menciptakan kerangka kerja untuk mencegah aktivitas ilegal, seperti pencucian uang, mereka seharusnya melakukan penilaian yang lebih selektif. Penutupan rekening yang tidak aktif selama tiga bulan tidak bisa instan dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks penggunaan.
Bagi Ahmad, rekening tersebut memiliki tujuan yang jelas. Ia rutin melakukan transfer dari rekening pribadinya untuk mendukung pendidikan anaknya. “Itu rekening khusus tabungan anak, dan saya merasa tidak seharusnya diperlakukan seperti ini,” tuturnya. Penting untuk menyadari bahwa tidak semua tabungan yang tidak aktif adalah bagian dari tindak kriminal. Seharusnya ada mekanisme yang lebih memahami permasalahan individu yang tidak berurusan dengan tindakan ilegal.
Di era digital seperti sekarang, setiap kebijakan harus mampu beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat. Education dan transparansi dalam kebijakan menjadi salah satu kunci untuk menjalin kepercayaan antara lembaga pemerintah dan masyarakat. Jika masyarakat memahami tujuan dan proses di balik kebijakan, maka tentu akan mengurangi ketidakpuasan. Sebagai penutup, pengalaman Ahmad menjadi pengingat bagi kita semua untuk bersikap kritis dan proaktif dalam menanggapi kebijakan publik yang berlaku.