BANDA ACEH – Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini membuat keputusan penting yang menolak permohonan uji materi terkait syarat pendidikan untuk calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Permohonan tersebut menuntut syarat agar calon pemimpin minimal berpendidikan sarjana strata satu (S1), yang diatur dalam putusan Nomor 87/PUU-XXIII/2025. Ketua MK, Suhartoyo, menyampaikan bahwa mereka menolak semua permohonan yang diajukan dan ini memiliki dampak signifikan bagi proses demokrasi di tanah air.
Keputusan ini muncul di tengah pertanyaan masyarakat mengenai kualitas calon pemimpin. Apakah dengan syarat pendidikan yang ada saat ini, kita sudah mendapatkan pemimpin yang profesional dan kompeten? Dalam suasana yang hangat ini, banyak pihak mengamati bahwa pembatasan pendidikan mampu mengurangi bakat-bakat baik yang bisa saja muncul dari masyarakat.
Pentingnya Persyaratan yang Fleksibel untuk Pemimpin
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa syarat pendidikan yang diajukan justru akan mempersempit peluang bagi warga negara untuk berpartisipasi sebagai calon pemimpin. Para pemohon menginginkan regulasi ini untuk menghindari pemimpin yang dianggap tidak memiliki kompetensi. Namun, MK berpendapat bahwa saat ini sudah terdapat kebijakan yang memungkinkan partai politik untuk memilih calon dengan latar pendidikan lebih tinggi.
Sebuah pandangan menarik datang dari hakim MK, Ridwan Mansyur, yang mengatakan bahwa jika diabaikan, pemaknaan baru ini dapat membatasi akses untuk calon pemimpin. Pembatasan demikian dapat membuat kita kehilangan individu-individu yang mungkin memiliki potensi besar meskipun tidak memiliki pendidikan formal yang diinginkan. Saat ini, kita hidup di era di mana pengalaman, kecerdasan emosional, dan kemampuan kepemimpinan juga sangat krusial.
Strategi Memperbaiki Sistem Pemilihan Umum
MK juga menyatakan bahwa pembentuk undang-undang memiliki hak untuk mengubah ketentuan yang ada, mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Dengan adanya perubahan sosial dan tuntutan zaman, undang-undang harus mampu mengikuti keinginan serta harapan publik.
Gugatan yang diajukan oleh Hanter Oriko Siregar, Daniel Fajar Bahari Sianipar, dan Horison Sibarani mencerminkan kekhawatiran akan kualitas kepemimpinan di masa depan. Mereka menganggap pendidikan minimal saat ini, yaitu SMA dan sederajat, berpotensi menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten. Namun, respons dari MK membuka ruang untuk berpikir lebih luas: Apakah pendidikan satu-satunya indikator dari seorang pemimpin yang baik? Pendidikan memang penting, namun pengalaman dan kemampuan dalam memecahkan masalah juga tak kalah signifikan.
Menjelang pemilu yang akan datang, penting bagi kita untuk menyadari bahwa pemimpin yang baik tidak hanya dinilai dari ijazah, tetapi juga dari kemampuannya untuk membawa perubahan positif. Masyarakat diharapkan lebih aktif dalam memilih pemimpin yang mampu memberikan solusi atas permasalahan yang ada, bukan hanya sekadar memenuhi syarat formal.