BANDA ACEH – Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem secara resmi membuka acara Aceh Perkusi 2025 di Monumen Samudera Pasai, Gampong Beuringen, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, pada Jumat malam, 22 Agustus 2025. Festival yang berlangsung hingga 24 Agustus ini dibuka dengan tabuhan rapai pasee oleh Mualem, meskipun hujan mengguyur lokasi acara.
“Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, Aceh Perkusi 2025 secara resmi saya nyatakan dibuka,” kata Mualem. Pembukaan acara ini tidak hanya simbolis, tetapi juga membawa pesan kuat yang mengaitkan festival ini dengan sejarah Aceh yang kaya dan multilayered.
Sejarah Monumen Samudera Pasai dan Makna Perkusi
Monumen Samudera Pasai merupakan saksi bisu dari kejayaan Kesultanan Samudera Pasai, yang dikenal sebagai kesultanan Islam pertama di Nusantara yang berdiri pada tahun 1267 Masehi. Mualem menegaskan bahwa Sultan Malikussaleh memegang peranan penting dalam penyebaran Islam di wilayah ini.
“Beliau yang membawa Islam kaffah kepada kita semua. Tanpa perannya, mungkin kita masih terjebak dalam penyembahan berhala,” ungkapnya. Melalui penyebutan sejarah ini, Mualem tidak hanya mengingatkan akan pentingnya warisan budaya tetapi juga menekankan nilai-nilai keagamaan yang masih relevan hingga saat ini.
Membangun Koneksi dengan Kawasan Melayu
Pada kesempatan tersebut, Mualem juga membahas upaya untuk memperkuat hubungan Aceh dengan kawasan Melayu, khususnya Malaysia dan Thailand. Ia mengungkapkan adanya bukti historis yang menunjukkan hubungan tersebut, salah satunya adalah makam ulama sufi Aceh, Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani, yang terletak di Kampung Ketek, Melaka, Malaysia. Ini menjadi simbol dari ikatan yang telah terjalin sejak lama.
Pemerintah Aceh tengah merencanakan pembukaan jalur transportasi laut yang menghubungkan Lhokseumawe dan Penang. “Kita perlu menghidupkan kembali hubungan dagang dengan negeri jiran, sebagaimana leluhur kita lakukan di masa lalu,” papar Mualem. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan arus perdagangan komoditas unggulan dari Aceh ke Malaysia dan mewujudkan konektivitas yang lebih baik.
Ia menekankan bahwa saat ini, arah perdagangan Aceh seharusnya tidak lagi berkiblat ke Medan dan Jakarta, melainkan lebih tertuju kepada Kuala Lumpur dan Penang. “Rencana konektivitas itu diharapkan dapat mempermudah arus perdagangan komoditas unggulan Aceh ke Malaysia,” ujarnya. Dengan langkah ini, Mualem berharap bahwa Aceh bisa kembali pada jalur perdagangan yang produktif dan menguntungkan bagi semua pihak.