BANDA ACEH – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah mengumumkan rencana strategis untuk menarik pajak dari aktivitas ekonomi digital yang berlangsung di platform media sosial mulai tahun 2026. Ini merupakan langkah yang signifikan dalam adaptasi perpajakan terhadap perkembangan teknologi dan tren ekonomi baru.
Kebijakan ini ditujukan khusus kepada pelaku usaha digital, seperti kreator konten dan juga perusahaan asing yang menyediakan layanan digital (Over-The-Top/OTT) seperti platform video dan musik. Dengan semakin maraknya transaksi dan interaksi di ruang digital, pemerintah merasa perlu untuk menjadikan media sosial sebagai bagian dari sumber informasi perpajakan serta alat untuk memantau aktivitas ekonomi digital yang kian berkembang.
Strategi Penerapan Pajak Terhadap Ekonomi Digital
Rencana penerapan kebijakan pajak ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang mengemukakan bahwa pemerintah ingin menyisir potensi pajak dari sektor-sektor baru yang selama ini belum dikenakan pajak. Informasi dari media sosial akan digunakan untuk mendukung target penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Dengan pengawasan yang lebih ketat, diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara yang berasal dari sektor digital.
Penting untuk dicatat bahwa kebijakan ini tidak akan menyasar individu atau pengguna biasa dalam penggunaan media sosial. Fokus utama akan dikhususkan kepada mereka yang memang memanfaatkan platform digital untuk memperoleh penghasilan. Beberapa kelompok yang menjadi perhatian utama meliputi kreator konten yang mendapatkan penghasilan dari monetisasi, influencer yang menerima pembayaran untuk endorsing produk, dan perusahaan-perusahaan besar yang menawarkan layanan digital berbayar di Indonesia.
Persiapan dan Sosialisasi Kebijakan Pajak Digital
Sebelum pelaksanaan kebijakan ini, pemerintah mempersiapkan sosialisasi luas untuk para pelaku industri kreatif dan digital. Sosialisasi yang komprehensif ini bertujuan untuk mendidik dan memberikan pemahaman kepada para pelaku industri mengenai penerapan pajak yang akan datang, serta manfaat yang akan diperoleh dari keberadaan regulasi ini. Dengan pemahaman yang baik, diharapkan pelaku usaha dapat beradaptasi dengan lebih cepat dan efektif.
Teknologi dan data terbuka menjadi bagian penting dalam pelaksanaan kebijakan ini, di mana Direktorat Jenderal Pajak akan menggunakan metode digital untuk mendeteksi potensi pajak yang selama ini kurang diperhatikan. Dengan pengawasan berbasis data yang lebih baik, pemerintah akan bisa mereformasi sistem pajak yang dirasa sudah saatnya untuk mengikuti tren ekonomi yang baru, sehingga dapat memberikan keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Kebijakan ini merupakan kelanjutan dari reformasi perpajakan setelah disahkannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam skala yang lebih luas, langkah ini juga mencakup pengawasan terhadap transaksi lintas negara dan usaha digital, yang tentunya akan membawa dampak positif bagi ketahanan ekonomi nasional dan memastikan bahwa sektor digital berkontribusi terhadap pembangunan negara.