Pemilu nasional adalah salah satu momen penting bagi sebuah negara, mencakup Pileg (Pemilihan Legislatif) untuk DPR, DPD, dan Pilpres (Pemilihan Presiden). Namun, tidak hanya pemilu di tingkat nasional yang menjadi fokus; pemilu di tingkat daerah, seperti Pileg DPRD serta Pilkada, juga memiliki peran strategis dalam menentukan arah kebijakan lokal.
Menariknya, Pileg untuk DPRD provinsi atau kabupaten/kota dan Pilkada biasanya dijadwalkan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Ini membuat proses pemilu menjadi dinamis, terlebih di tengah perubahan yang cepat dalam politik dan kebijakan.
Rincian Proses dan Tahapan Pemilu
Proses pemilu sejatinya adalah serangkaian tahapan yang harus diikuti, mulai dari persiapan hingga pelaksanaan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengingatkan bahwa tahapan-tahapan ini seharusnya dapat diprediksi dengan jelas, sehingga jika muncul situasi yang tidak terduga, ada langkah antisipatif yang bisa diambil. Ketidakpastian hasil pemilu bukanlah hal baru, namun yang penting adalah proses yang terstruktur dan transparan.
Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, menegaskan bahwa pemilu haruslah bisa diprediksi dalam prosesnya. “Pemilu itu, election itu predictable in process, unpredictable in result,” ujarnya. Sehingga, ketika ada halangan atau gangguan, pihak penyelenggara harus sudah memiliki rencana cadangan untuk mengatasi masalah yang mungkin timbul.
Masalah mencuat ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, yang memberikan peluang bagi Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil presiden. Awalnya, Gibran tidak memenuhi syarat karena usianya yang baru 36 tahun pada 1 Oktober 2023. Namun, MK memutuskan untuk merelaksasi syarat tersebut, sehingga memungkinkan Gibran untuk mencalonkan diri.
Dampak Keputusan MK terhadap Pemilu
Putusan MK tentunya menyebabkan reaksi beragam di masyarakat. Banyak yang mempertanyakan keabsahan dan keadilan dari keputusan yang terkesan mendadak ini. Rahmat Bagja pun menyoroti pentingnya konsistensi dalam aturan pemilu. “Kan aneh dengan tiba-tiba putusan 90 ini model of tahapan,” tuturnya, menunjukkan bahwa perubahan syarat calon dapat mengganggu alur yang sudah dibangun sebelum pemilu.
Dampak dari keputusan tersebut tidak hanya menyeret nama Gibran, tetapi juga memicu kegaduhan di kalangan publik. Hal ini mendorong Bawaslu untuk segera berkoordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dipimpin oleh Hasyim Asya’ri saat itu. “Nah itu membuat Mas Hasyim kemarin dan Pak Afif pada saat itu saya sempat ‘mas ini harus kita tindak lanjuti’,” kata Bagja, mengilustrasikan kecemasan akan kemungkinan masalah lebih lanjut di masa mendatang.
Bagja menekankan bahwa keputusan MK hendaknya tidak merusak tatanan yang telah ada. Dalam konteks ini, lepasnya kendali MK dalam menentukan syarat calon diharapkan menjadi pelajaran penting bagi kelembagaan hukum di masa depan agar selalu berhati-hati.
Seiring dengan perkembangan ini, Bawaslu kini berada dalam posisi yang sulit. Mereka ditugaskan untuk melaksanakan aturan yang ada sambil menunggu keputusan dan sikap dari pemerintah dan DPR. Ini menciptakan ketidakpastian yang berlanjut, di mana mereka harus beradaptasi dengan perubahan yang mungkin terjadi dalam waktu dekat.