BANDA ACEH – Isu terkait pendidikan selalu menjadi topik hangat dalam diskusi publik. Terlebih bagi seorang pemimpin negara, latar belakang pendidikan sering kali menjadi sorotan. Baru-baru ini, seorang pengamat politik dan militer memberikan pandangannya tentang kehadiran Presiden Joko Widodo di sebuah acara reuni, yang menurutnya tidak otomatis menjadikan seseorang sebagai lulusan dari institusi yang bersangkutan.
Pernyataan ini muncul dalam konteks kehadiran Jokowi di reuni ke-45 angkatan 1980 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM). Pertanyaan pun muncul: apakah keikutsertaannya di acara tersebut memvalidasi status pendidikan yang pernah dijalani? Tentu, dalam sejumlah acara reuni, bukan hal aneh bila orang-orang yang tidak lulus tetap hadir. Keberadaan mereka tidak serta-merta mencerminkan status akademik yang sebenarnya.
Memahami Konsep “Angkatan” dalam Pendidikan
Penting untuk memahami makna istilah “angkatan” dalam konteks pendidikan. Di jenjang pendidikan dasar dan menengah, istilah ini merujuk pada tahun kelulusan, namun ada perbedaan dalam pendidikan tinggi. Dalam perguruan tinggi, “angkatan” lebih kepada tahun masuk kuliah. Sehingga, jika Jokowi masuk kuliah pada tahun 1980, kehadirannya di reuni tahun ini memang relevan meskipun status kelulusannya masih menjadi perdebatan.
Banyak contoh di kehidupan nyata menunjukkan bahwa kerja keras dan kehadiran dalam kegiatan profesional tidak selalu berbanding lurus dengan status pendidikan formal. Sebagai gambaran, seorang mantan presiden yang dikenal luas di masyarakat pernah mengenyam pendidikan di beberapa universitas terkenal, namun tidak menyelesaikan pendidikan tersebut. Meskipun demikian, mereka tidak pernah mengklaim sebagai lulusan, menunjukkan sikap yang patut dicontoh.
Argumentasi dan Telaah Lebih Dalam
Melihat dari sudut pandang yang lebih luas, kita harus menyadari bahwa pendidikan bukan satu-satunya tolak ukur keberhasilan. Banyak pemimpin dan tokoh masyarakat yang berhasil meskipun tidak menyelesaikan pendidikan formal mereka. Ini menunjukkan bahwa soft skills, pengalaman, dan kemampuan beradaptasi dalam berbagai situasi memiliki nilai yang sama, jika tidak lebih, pentingnya daripada gelar akademik. Dalam kasus Jokowi, meskipun ada polemik mengenai status pendidikannya, kita bisa mengingat berbagai inisiatif dan kebijakan yang dikeluarkannya selama menjabat.
Penutupan sikap terbuka terhadap pendidikan harus menjadi hal utama bagi para pemimpin. Untuk itu, penting bagi generasi muda untuk lebih fokus pada pembelajaran praktis dan pengalaman di lapangan yang akan mendukung daya saing di masa depan. Jangan mudah terpedaya dengan stigma bahwa hanya orang dengan gelar yang bisa sukses. Pendidikan mungkin merupakan pintu masuk, tetapi berbagai pengalaman dan keterampilan yang diperoleh di luar bangku sekolah sering kali yang menentukan kesuksesan seseorang.